Dalam perjalanan modernisasi institusi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyadari bahwa kekuatan sebuah lembaga penegak hukum tidak hanya terletak pada kemampuan represifnya, tetapi juga pada tingkat kepercayaan dan kedekatan dengan masyarakat. Oleh karena itu, Reformasi Kultural Polri menjadi agenda utama, bertujuan mengubah citra dari penegak hukum yang ditakuti menjadi pelayan publik yang humanis dan dekat dengan rakyat. Perubahan kultural ini menuntut setiap anggota Polri, dari tingkat perwira tinggi hingga Bintara di lapangan, untuk menginternalisasi nilai-nilai melayani, mengayomi, dan melindungi dengan empati, memastikan bahwa setiap interaksi adalah representasi positif dari institusi negara.
Reformasi Kultural Polri diwujudkan melalui perubahan kurikulum pendidikan dan pelatihan. Di Akademi Kepolisian (Akpol) dan Sekolah Polisi Negara (SPN), penekanan pada modul etika, komunikasi publik, dan psikologi sosial kini ditingkatkan. Para calon Bhayangkara dilatih untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan restoratif, bukan semata-mata menghukum. Selain itu, pelatihan berbasis simulasi kasus di lapangan kini wajib menerapkan prinsip humanisme. Seluruh anggota yang baru dilantik pada tahun 2024, misalnya, wajib mengikuti program adaptasi dan mentoring yang intensif selama enam bulan pertama penugasan, yang fokus pada peningkatan kualitas pelayanan.
Penerapan sikap humanis ini sangat terlihat dalam pelayanan publik sehari-hari. Reformasi Kultural Polri mendorong petugas untuk bersikap ramah, sopan, dan proaktif dalam membantu masyarakat. Contohnya, petugas Polisi Lalu Lintas (Polantas) tidak hanya berfokus pada penindakan pelanggaran, tetapi juga pada bantuan darurat. Dalam sebuah insiden kecelakaan ringan di jalan raya pada hari Jumat, 25 Oktober 2025, petugas Aiptu Budi Santoso tidak hanya melakukan olah TKP, tetapi juga membantu korban menghubungi keluarga dan memberikan pertolongan pertama, mencerminkan peran Polisi sebagai penolong.
Untuk memastikan keberlanjutan Reformasi Kultural Polri, institusi telah menciptakan mekanisme pengawasan yang lebih terbuka. Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri kini memiliki saluran pelaporan yang mudah diakses oleh masyarakat (misalnya melalui aplikasi atau hotline khusus) untuk melaporkan perilaku yang dianggap tidak etis atau arogan dari personel berseragam. Transparansi ini penting untuk menegakkan disiplin dan memastikan akuntabilitas. Dengan mengedepankan pelayanan yang tulus dan humanis, Polri berharap dapat menempatkan diri sebagai mitra terpercaya masyarakat, membangun citra baru yang kuat dan berintegritas sesuai dengan semangat reformasi.
